Aksara Mbojo (Peradaban yang Sempat Hilang)
SEJARAH DITEMUKANNYA AKSARA MBOJO BIMA
Aksara sepanjang sejarah perkembangannya merupakan lambang kemajuan peradaban dan media untuk memacu perkembangan peradaban. Di mana-mana, di dunia ini, tatkala belum mengenal aksara, tingkat peradaban manusia tergolong masih rendah dan sangat sederhana. Kehidupan manusia cenderung sangat tergantung kepada apa yang sudah disediakan oleh alam. Namun, setelah manusia mengenal dan mempergunakan aksara, tingkat peradaban manusia makin tinggi dan makin lama perubahan tingkat peradaban manusia itu semakin berlangsung cepat, sehingga kehidupan manusia menjadi lebih kompleks.
Aksara dipandang sebagai batas masa kehidupan manusia antara zaman prasejarah (masa sebelum mengenal aksara) dengan zaman sejarah (masa sesudah manusia mengenal dan mempergunakan aksara). Meskipun zaman prasejarah berlangsung jauh lebih lama daripada zaman sejarah, namun pengetahuan tentang aksara merupakan momen penting yang menandakan tingginya tingkat peradaban yang pernah dicapai oleh suatu bangsa. Di sinilah kehebatan masyarakat Bima pada masa silam yang dapat menciptakan aksara sendiri dan menyumbangkan karya cipta yang luar biasa bagi kemajuan dan perkembangan peradaban Bima.
Kita sering mendengar anggapan sebagian masyarakat Bima bahwa aksara yang digunakan oleh masyarakat Bima pada masa awal kerajaan adalah aksara Arab-Melayu.Padahal, jauh sebelum masyarakat Bima mengenal aksara Arab-Melayu, sudah terlebih dahulu mengenal aksara Bima. Karena berdasarkan catatan sejarah bahwa tradisi tulis menulis di Kerajaan Bima sudah dikenal sejak abad XIV M dan dilakukan oleh generasi ke generasi berikutnya sampai abad XX M. Hanya sayangnya catatan atau tulisan dalam aksara Bima tersebut hampir sudah tidak ada lagi, tinggal beberapa naskah saja yang masih tersimpan rapi di Museum Samparaja Bima dan di Perpustakaan Museum Nasional Republik Indonesia Jakarta.
Namun setelah agama Islam masuk di Bima pada awal abad XVII (1609) dan Kesultanan Bima berlandaskan Islam, maka semua catatan, korespondensi, surat keputusan, dan sebagainya, diperintahkan oleh Sultan Bima II, Sultan Abil Khair Sirajuddin untuk ditulis dengan menggunakan aksara Arab-Melayu, mengingat hubungan Kerajaan Bima dengan dunia luar sudah sedemikian maju sehingga memerlukan bahasa Melayu untuk berkomunikasi.
Anggapan sebagian masyarakat Bima mengenai ketiadaan aksara Bima diamini oleh Henry Chambert-Loir yang mendasarkan pendapat pengamat asing bahwa bahasa Bima (Nggahi Mbojo) tidak pernah menjadi bahasa tulis resmi yang umum di Kerajaan Bima pada saat itu. Oleh karena itu, untuk membuktikan ketidakbenaran klaim Henry tersebut, penulis (Hj. Siti Maryam R. Salahuddin) menaruh minat untuk terus meneliti dan mengkaji secara intensif Aksara Bima. Dari pencarian dan pengkajian yang panjang itulah sehingga pada tahun 1987,penulis (Hj. Siti Maryam R. Salahuddin) menemukan salah satu naskah di Perpustakaan Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta dalam bentuk selembar dokumen yang merupakan lampiran dari hasil laporan perjalanan seorang peneliti Belanda, Heinrich Zollinger yang pernah melakukan perjalanan ke Bima dan Sumbawa pada bulan Mei Desember 1847. Dokumen tersebut berjudul Alfabet Bima yang telah hilang. Aksara Bima juga tertulis di dalam buku Thomash Stanford Raffles, yang berjudul The History of Java.
Selanjutnya pada tahun 1990-1991, seorang guru besar dari Universitas Leiden, Belanda, ahli bahasa dan Aksara Bugis bernama J. Noorduyn datang ke Mataram dengan tujuan khusus bertemu penulis (Hj. Siti Maryam R. Salahuddin) untuk memperlihatkan sebuah foto kopi dokumen yang kala itu tertulis di atas lontar yang tersimpan di Leiden Negeri Belanda. J. Noorduyn sempat berasumsi bahwa naskah lontar tersebut beraksara Bugis, tapi asumsinya terbantahkan dengan sendirinya oleh karena ia tidak bisa membacanya. Jika bukan Aksara Bugis lalu aksara apa? Inilah pertanyaan yang mengantar J. Noordyun ke Mataram. Rupanya ia mendapat kabar bahwa kemungkinan aksara itu adalah Aksara Bima dan Hj. Siti Maryamlah sumber yang otoritatif untuk menjawab teka-tekinya tersebut (Sarangge.wordpress. com; juga dalam Tim Wacana Nusantara,[2012]).
- Noordyun ke Mataram untuk menemui penulis (Hj. Siti Maryam) untuk mendiskusikan keberlanjutan tentang dokumen tersebut. Dengan dasar abjad yang diketemukan oleh penulis (Hj. Siti Maryam) di Perpustakaan Nasional RI tahun 1987, dilakukanlah penelitian yang intensif terhadap beberapa naskah yang terdapat di Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Hasilnya huruf-huruf dalam naskah tersebut dikaji satu per satu oleh J. Noordyun di Leiden, kemudian dibawa lagi ke Mataram (tahun 1991) untuk disusun menjadi kalimat oleh penulis (Hj. Siti Maryam) dan terangkailah sebuah kalimat berbahasa Bima. “Ake sabua hikmat ma alus.
Fakta di atas menunjukan bahwa huruf Bima dan Bahasa Bima benar-benar dipergunakan dalam penulisan BO pada Kesultanan Bima, sebelum menggunakan huruf Arab Melayu walaupun BO yang ada sekarang ini di dimoinasi oleh huruf Arab Melayu dengan bahasa Melayu. Adanya huruf dan Bahasa Bima yang pergunakan dalam penulisan BO menunjukan tradisi penulisan BO telah berlangsung lebih awal. Menjadi pertanyaan apakah tradisi ini bisa dijadikan dasar bahwa nama BO juga lebih awal di bandingkan dengan kehadiran bahasa asing “book” (bahasa Inggris) penulisan BO telah berlangsung lebih awal atau “boek” (bahasa Belanda) ? Lebih jauh Lalu Messir Q. Abdullah menjelaskan sebelum ada penulisan “BO” semua peristiwa disampaikan turun temurun melalui cerita dari mulut ke mulut (oral tradition). Baru pada masa pemerintahan Mangkubumi (-menurut tata pemerintahan Kerajaan Bima disebut Ruma Bicara-) La Mbila Rumata Tureli Nggampo Ma Kapiri Solo, tradisi penyampian cerita secara tertulis mulai dilakukan pada penulisan BO, dengan menggunakan aksara Bima dan bahasa Bima di atas daun lontar. Dan pada masa pemerintahan Rumata Sawo, penulisan BO sudah bercampur antara huruf Bima dan huruf bugis lama. Lalu Messir Q. Abdullah juga memberikan contoh teks naskah BO yang menggunakan aksara Bima dan aksara Bugis lama. Dan sisa-sia BO yang memakai aksara Bima dan Bugis lama pada tahun 1935 masih dijumpai dalam arsip Istana Bima atau Museum Samparaja Bima, karena sebagian besar ikut terbakar ketika Istana Bima mengalami kebakaran pada tahun 1918.
Penggunaan bahasa Bima di dalam naskah kesultanan Bima di mulai dihilangkan dan di ganti dengan Arab Melayu terjadi pada Sultan Bima yang kedua yaitu Sultan Abil Khair Sirajuddin pada pertengahan abad ke 17. Hal ini terungkap dalam naskah
Hijratun Nabi sallallahu alaihi wasalam 1055 sanah mba-a alif sampuru lima ainaina wura Muhara, waktu dzohor ai saad ede na mawa ro kantea ndai Ruma Sangaji mantau uma jati Sultan Abdul Khair Sirajuddin, donggo kaina parenta di dou ra kapatu kaina ndi ma reka ro tuntina, ka tanda na au au ru ma ndadi simpa-na ma ngge-e nggahi ro rawi. Simpana ntangga aura katanda, ndi bade kayi ra rawi ba nu’u ro ntuwu di conto ro baba na ba dou ma kento mai. De pala na katada ro kamodaku ma ncoki di bade, kai rungkana rawi ma ma ngarana tunti, sa raka nggahi maka rongga eli. Kai ndede ma eli ma rongga, ra tunti ra BO BA DANA MBOJO kai nggahi ra eli malaju kai pahu tunti ro reka di redha kai ba Allahu taala, tamatul Kalam.
Informasi teks BO di atas mengidikasikan bahwa ada tradisi penulisan BO di lingkungan istana yang menggunakan aksara Bima (Tunti Mbojo) dan bahasa Bima (Nggahi Mbojo). Dan saat itu belum ditradisikan penulisan aksara dengan aksara Arab Melayu dan bahasa Melayu. Tetapi pada masa Sultan Abil Khair Sirajuddin, dilakukan perubahan yaitu mengganti tradisi penulisan dengan menggunakan aksara Arab Melayu dan Bahasa Melayu. Peralihan ini membawa perubahan besar pada penggunaan bahasa resmi di kerajaan / Kesultanan Bima, khususnya dalam membuat surat-surat dan catatan yaitu semula dengan “Nggahi Mbojo” (Bahasa Bima) menjadi Nggahi Malayu (Bahasa Melayu) dan dari “Tunti Mbojo” (Aksara Bima) menjadi “Tunti Malaju” (aksara Jawi atau aksara Melayu).Dengan sajian berbagai fakta tersebut tentu tidaklah beralasan dan sulit dikatakan kalau kita sebenarnya tidak mempunyai contoh dari BO dalam bahasa Bima maupun dari naskah bertuliskan aksara Bima kuno.
Setelah sekian lama aksara Bima tersebut tersimpan, barulah dapat dideklarasikan pada tanggal 28 Juli 2007 pada acara penutupan “Simposium Internasional Penaskahan Nusantara XI” yang dilaksanakan di Bima. Namun demikian, perlu diingat bahwa pendeklarasian tersebut belumlah memberikan informasi yang utuh mengenai Aksara Bima sehingga perlu diadakan penelitian dan penelaahan yang serius dalam rangka mengungkap misteri terkait Aksara Bima tersebut. Atas dasar itulah, penulis (Hj. Siti Maryam) mengajak Munawar Sulaiman dan Syukri Abubakar untuk terlibat dalam proyek penelitian Aksara Bima.Keterlibatan mereka berdua dalam studi ini menjadi sangat penting demi kontinuitas kajian tentang Bima yang sejauh ini minim dari perhatian para pemerhati budaya yang berusia muda.
Kajian inipun dimulai dengan mendalami beberapa naskah Aksara Bima yang berpatokan pada selembar kertas yang berisi huruf Bima menurut catatan Heinrich Zollinger (1850) dan huruf Mbojo Bima menurut catatan Thomas Stanford Raffles (1978). Dari situlah, kami penulis mencoba menelusuri bagaimana sebenarnya bentuk aksara Mbojo Bima huruf per hurufnya.